Skip to content

Analisis Kasus OJK VS PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya

  • by

Beberapa Catatan Perkara Kepailitan Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melawan PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya

Oleh : Anthony LP Hutapea

1) Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”), suatu lembaga independen mempunyai fungsi, tugas, wewenang pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan antara lain pada sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”) yang menyatakan:

“Sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.”

2) OJK memiliki kedudukan hukum di dalam dan di luar pengadilan yang diwakili oleh Dewan Komisioner.

3) PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (“PT. AJBAJ”), adalah suatu Perseroan Terbatas yang menjalankan usaha dalam bidang Asuransi dan telah memperoleh perpanjangan izin usaha dalam bidang asuransi jiwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-071/KM.13/1988 tanggal 15 Juni 1988.

Perkara Pailit pada Tingkat Pertama (Dewan Komisioner OJK Mempailitkan PT. AJBAJ):

4) Dewan Komisioner OJK menerbitkan Keputusan Nomor: KEP-112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013 tentang Pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT. AJBAJ karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian, yang pada pokoknya tidak dapat memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120% (seratus dua puluh persen) dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban, bahkan mengalami ekuitas minus Rp. 931,65 miliar yang melanggar Pasal 6B ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dan dapat dikategorikan sebagai utang.

5) PT. AJBAJ memiliki kewajiban pembayaran kepada konsumen / pemegang polis yang didasarkan pada jatuh tempo polis tertanggung, maka PT. AJBAJ mempunyai utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Mengingat fungsi OJK sebagai lembaga yang melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, Dewan Komisioner OJK (“Pemohon Pailit”) mengajukan Permohonan Pailit terhadap PT. AJBAJ (“Termohon Pailit”), yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Registrasi Nomor 04/PDT-SUS-Pailit/2015/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 18 Februari 2015.

6) OJK mendalilkan bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan dan PKPU”) Jo. Pasal 55 UU OJK bahwa kewenangan mengajukan Permohonan Pailit terhadap Perusahaan Asuransi hanya dapat dilakukan oleh OJK menggantikan kedudukan Menteri Keuangan sejak beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap perasuransian mulai tanggal 31 Desember 2012.

Dapatkah PT. AJBAJ mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas Permohonan Pailit yang diajukan oleh OJK?

Perkara PKPU:

7) Bahwa menanggapi Permohonan Pailit yang diajukan terhadap dirinya dalam perkara No. 04/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst yang didaftarkan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 18 Februari 2015, PT. AJBAJ selaku “Pemohon PKPU” mengajukan permohonan PKPU berdasarkan Pasal 229 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan:

“(3) Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.”

Pemohon PKPU mengajukan Permohonan PKPU terhadap permohonan Pailit yang diajukan Dewan Komisioner OJK (dalam perkara PKPU disebut sebagai “Termohon PKPU”), dan Permohonan PKPU tersebut didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Registrasi Nomor 27/PDT-SUS-PKPU/2015/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 17 Maret 2015.

8) Adapun alasan-alasan yang diajukan Pemohon PKPU dalam Permohonan PKPU adalah sebagai berikut:

  • Pemohon PKPU mempunyai utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada Termohon PKPU;
  • Pemohon PKPU mengakui dan bertanggung jawab sepenuhnya atas seluruh kewajiban utang Pemohon PKPU kepada Termohon PKPU yang timbul berdasarkan perjanjian polis yang telah disepakati dan beritikad baik untuk melakukan pembayaran kepada Nasabah Pemegang Polis yang telah mengajukan klaim manfaat asuransi yaitu 12 nasabah pemegang polis dengan 16 polis sebesar Rp. 235.887.870,- (Bukti P.PKPU-5 s/d P.PKPU-27);
  • Pemohon PKPU mempunyai utang kepada Kreditor lain selain kepada nasabah pemegang polis sebagaimana Permohonan Pailit Termohon PKPU/Pemohon Pailit yaitu berdasarkan catatan Pemohon PKPU yang dapat diutarakan yaitu Inforce, Lapse, Polis Anuitas, Whole Life, Askol (Saving And Non Saving), dan Unit Link.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon PKPU berharap Pengadilan berkenan untuk mengabulkan Permohonan PKPU yang diajukan oleh Debitor/Pemohon PKPU paling lambat 3 (tiga) hari sejak didaftarkan Permohonan PKPU di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU dengan alasan-alasan sebagai berikut:

  • Pemohon PKPU mempunyai keyakinan dapat merestrukturisasi utang-utangnya kepada Para Kreditor;
  • Pemohon PKPU dengan itikad baik masih ingin melakukan pembayaran utang kepada Para Kreditor termasuk kepada Para Nasabah pemegang polis;
  • Meskipun mengalami keterlambatan pembayaran dari waktu yang telah disepakati karena kondisi perekonomian yang sangat mempengaruhi kemampuan ekonomi Pemohon PKPU untuk memenuhi seluruh kewajibannya sesuai dengan kesempatan yang ada dan mempunyai keyakinan kuat apabila diberikan kesempatan untuk mengajukan Rencana Perdamaian kepada Para Krediturnya termasuk tetapi tidak terbatas kepada para pemegang polis dengan pertimbangan Pemohon PKPU masih mempunyai asset baik berupa properti investasi maupun non investasi yang mencukupi untuk membayar utang-utangnya.

9) Menanggapi Permohonan PKPU, Dewan Komisioner OJK dalam Jawabannya tertanggal 19 Maret 2015, memohon agar Majelis Hakim menolak permohonan PKPU yang diajukan Pemohon PKPU dengan alasan-alasan sebagai berikut:

  • Pemohon tidak memiliki kedudukan (legal standing) untuk mengajukan Permohonan PKPU, karena dalam Pasal 223 Jo. Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU serta Pasal 55 Jo. Pasal 6 UU OJK, yaitu pada pokoknya bahwa kewenangan mengajukan Permohonan PKPU terhadap Perusahaan Asuransi hanya dapat dilakukan oleh OJK menggantikan kedudukan Menteri Keuangan sejak beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap perasuransian mulai tanggal 31 Desember 2012;
  • OJK hanya mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit terhadap PT. AJBAJ dan tidak mengajukan Permohonan PKPU;
  • Bahwa OJK tidak akan mengajukan Permohonan PKPU dan hanya mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit; OJK menolak seluruh dalil-dalil yang disampaikan oleh Pemohon dalam Permohonan PKPU.

10) Selanjutnya Majelis Hakim memberikan pertimbangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

“Menimbang bahwa sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan lebih lanjut tentang syarat formil maupun material Permohonan PKPU ini Majelis Hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu tentang keberatan Termohon PKPU Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sehubungan dengan diajukannya Permohonan PKPU oleh Pemohon PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya yang diajukan oleh Pemohon tidak diajukan dalam sidang pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 aya (4) UU No. 37 Tahun 2004;

Menimbang bahwa pada persidangan pertama tanggal 3 Maret 2015 Termohon Pailit (PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya) tidak hadir dipersidangan, kemudian persidangan oleh Majelis Hakim ditunda pada tanggal tanggal 10 Maret 2015, dimana Termohon Pailit hadir tapi baru menyerahkan legal standing dan belum siap dengan Jawabannya dengan alasan karena baru saja mendapatkan/menerima surat kuasa oleh Termohon Pailit, PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya/Pemohon PKPU sehingga belum dapat mempelajari Permohonan Pailit Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan kemudian Majelis Hakim menunda sidang tanggal 18 Maret 2015 dengan acara jawaban;

Menimbang bahwa ketika pada acara sidang tanggal 18 Maret 2015 untuk acara jawaban Termohon Pailit (Pemohon PKPU) telah mengajukan Permohonan PKPU No Register 27/Pdt,Sus-PKPU/2015/PN.NIAGA.JKT.PST;

Menimbang bahwa sesuai ketentuan pasal 229 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 oleh karena permohonan PKPU diajukan dan diperiksa pada saat yang bersamaan dengan diajukan Permohonan Pailit maka Permohonan PKPU dalam perkara ini, harus diputuskan terlebih dahulu dari pada Permohonan Pailit dalam perkara No 04/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst dan perkara pailitnya dinyatakan dihentikan;

Menimbang bahwa karena Permohonan PKPU tersebut diajukan sebelum Jawaban dari Termohon Pailit, maka menurut Majelis Hakim permohonan PKPU Tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 229 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 karena hal tersebut diajukan sebelum jawaban Termohon pailit dan karenanya haruslah dipandang sebagai sidang pertama;

Menimbang, bahwa selanjutnya majelis perlu mempertimbangkan syarat-syarat formil dan syarat materiil Permohonan Pemohon;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan PKPU diajukan oleh Perusahaan Asuransi PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, yaitu suatu perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usaha dalam bidang asuransi jiwa yang didirikan berdasarkan hukum negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam akta Perseroan No. 49 tanggal 7 Juni 1968 yang dibuat dihadapan Jlian Nimrod Siregar,SH Notaris di Jakarta ( bukti P-PKPU-1); maka Majelis pertama-tama akan mempertimbangkan apakah Perseroan Terbatas tersebut telah memenuhi syarat formil sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU ini;

Menimbang, bahwa Pasal 23 Undnag-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut UU Kepailitan) menentukan;

“Dalam hal Debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).”

Menimbang, bahwa Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan:

“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”;

Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disebut UU OJK) menentukan:

“Sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.”

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 6 UU OJK menyebutkan:

“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

f. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

g. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

h. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, nampak jelas bahwa kewenangan mengajukan Permohonan PKPU terhadap Perusahaan Asuransi HANYA dapat dilakukan oleh OJK menggantikan kedudukan Menteri Keuangan sejak beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap perusahaan perasuransian mulai tanggal 31 Desember 2012;

Menimbang, bahwa, berdasarkan alasan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat Pemohon PKPU dalam perkara a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan Permohonan PKPU ini sehingga tidak memenuhi syarat formal sebagai Pemohon PKPU dalam permohonan ini;

Menimbang, bahwa, oleh karena Permohonan Pemohon PKPU dalam perkara a quo tidak memenuhi syarat formal sebagai Pemohon PKPU dalam permohonan ini maka tentang syarat materiilnya (pokok perkaranya) tidak dipertimbangkan lebih lanjut;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas karena permohonan Pemohon PKPU tidak memenuhi syarat formal maka beralasan bagi Majelis untuk menyatakan permohonan Pemohon PKPU tidak dapat diterima;

Menimbang, bahwa karena permohonan Pemohon PKPU dinyatakan tidak dapat diterima maka membebankan biaya perkara kepada Pemohon;

Mengingat ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan khususnya pasal 223, pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU ;”

11) Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim dalam perkara No. 27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo. No. 04/Pdt-Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 20 Maret 2015, telah memberikan Putusan yang dikutip sebagai berikut:

MENGADILI

1. Menyatakan permohonan Pemohon PKPU PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya tidak dapat diterima;

2. Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon PKPU sebesar Rp. 326.000,- (tiga ratus dua puluh enam ribu Rupiah).”

Jawaban PT. AJBAJ terhadap Permohonan Pailit setelah Permohonan PKPU Dinyatakan Tidak Dapat Diterima oleh Majelis Hakim

12) Bahwa oleh karena Pemohon PKPU yang diajukan PT. AJBAJ dinyatakan tidak dapat diterima, maka PT. AJBAJ harus menanggapi Permohonan Pailit yang diajukan oleh Dewan Komisioner OJK dan dalam Jawabannya tertanggal 30 Maret 2015, PT. AJBAJ mengajukan Eksepsi Kompetensi Absolut yaitu Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara dengan dalil bahwa yang berwenang untuk penyelesaian sengketa antara Perusahaan Asuransi dan Pemegang Polis adalah lembaga mediasi, dalam hal ini Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). Selanjutnya PT. AJBAJ mengajukan Eksepsi Non Kompetensi yaitu: tidak dipenuhinya persyaratan formalitas Permohonan Pailit dengan alasan:

a. Pemohon Pailit tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit karena OJK bukan merupakan Kreditor;

b. Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon Prematur ( Exceptio Dilatoria) karena keputusan Dewan Komisioner OJK nomor KEP-112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013 tentang Pencabutan Ijin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa terhadap PT. AJBAJ sedang digugat keabsahannya oleh PT. AJBAJ di Pengadilan Tata Usaha Negara dan saat ini sedang dalam pemeriksaan di Tingkat Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 220/B/2014/PT.TUN.JKT tanggal 30 September 2014 jo. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 210/G/2013/PTUN.JKT tanggal 21 Mei 2014;

c. Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon tidak jelas (Obscuur Libel ) karena:

  • Klaim asuransi bukanlah utang dan pemegang polis bukanlah kreditor, sehingga PT. AJBAJ tidak memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih terhadap pemegang polis;
  • Permohonan Pernyataan Pailit tidak dapat diajukan dalam rangka mengeksekusi Putusan Pengadilan;
  • Dasar Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon tidak jelas karena berdasarkan Pasal 90 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tersebut dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Selanjutnya PT. AJBAJ memohon agar Majelis Hakim memberikan Putusan Sela atas Eksepsi Kompetensi Absolut dengan menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

13) Selanjutnya Majelis Hakim pada tanggal 1 April 2015, telah memberikan Putusan sebagai berikut:

“M E N G A D I L I :

1. Menolak eksepsi dari Termohon tersebut diatas;

2. Menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara No. 04/Pdt.Sus/Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst;

3. Memerintahkan para pihak untuk melanjutkan Pemeriksaan Perkara ini:

4. Menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir.”

14) Adapun dalam pertimbangan Majelis Hakim pada pokoknya yaitu dalam Pasal 5 Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang Jo. Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 303 UU Kepailitan dan PKPU, yang pada pokoknya bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara, maka memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan pemeriksaan perkara ini.

15) Selanjutnya setelah pemeriksaan bukti dan saksi, Majelis Hakim Dalam Pokok Perkara No. 04/Pdt-Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo. No. 27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 16 April 2015, telah memberikan Putusan yang dikutip sebagai berikut:

“M E N G A D I L I:

DALAM EKSEPSI

Menolak eksepsi-eksepsi Termohon;

DALAM POKOK PERKARA

Menolak Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Otoritas Jasa Keuangan terhadap Termohon PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya;

Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon tersebut yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 416.000,- (empat ratus enam belas ribu rupiah).”

16) Adapun pertimbangan Majelis Hakim Dalam Pokok Perkara yang dikutip sebagai berikut:

“..Menimbang, sementara itu terhadap dalil adanya utang tersebut telah dibantah oleh Termohon dan Termohon menyatakan masih memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya berupa pembayaran klaim kepada para pemegang polis;

Menimbang, bahwa selain dari pada itu berdasarkan dalil jawaban Termohon yang bersesuaian dengan bukti bertanda T-4 berupa foto copi Akta Permohonan Kasasi 180/G/2013/PTUN-JKT yang tidak dibantah oleh Pemohon diketahui bahwa Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor: KEP-112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013 Tentang Pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, telah ditolak oleh Termohon dan telah dilakukan upaya hukum yang saat ini masih dalam proses pemeriksaan kasasi sehingga belum memperoleh kekuatan hukum tetap;

Menimbang, bahwa dengan demikian menurut Majelis Hakim masih ada perselisihan terhadap Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor: KEP-112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013 Tentang Pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya tersebut diatas;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat bahwa pembuktian mengenai klaim asuransi dalam perkara ini menjadi tidak sederhana; sebagaimana diamanatkan pasal 8 ayat (4) undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dan karenanya dinyatakan untuk ditolak;

Menimbang, bahwa karena permohonan Pemohon ditolak dengan pertimbangan tersebut diatas maka terhadap permohonan Kurator dan bukti-bukti selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut;

Menimbang, bahwa karena Permohonan Pemohan dinyatakan ditolak maka membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon;

Mengingat ketentuan Pasal 2 ayat (1), pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, serta perundang-undangan lain yang bersangkutan;”

Perkara Pailit pada Tingkat Kasasi (Dewan Komisioner OJK Mengajukan Kasasi):

17) Tidak puas dengan Putusan Kepailitan perkara No. 04/Pdt-Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo. No. 27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 16 April 2015, Dewan Komisioner OJK menyatakan Kasasi pada tanggal 23 April 2015 disertai dengan Memori Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23 April 2015 dengan register No. 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 sebagai Pemohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit terhadap PT. AJBAJ sebagai Termohon Kasasi dahulu Termohon Pailit.

18) Pemohon Kasasi dalam Memori Kasasinya sangat keberatan dengan putusan Majelis Hakim perkara No. 04/Pdt-Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo. No. 27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 16 April 2015 (Putusan ” Judex Facti”) dan mengajukan dalil-dalil sebagi berikut:

a) Judex Facti salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dengan menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit ditolak karena masih ada upaya hukum Kasasi dalam perkara Tata Usaha Negara atas Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor Kep-112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013;

b) Judex Facti telah keliru dan melanggar Asas Presumptio Iustae Causa dengan tidak mempertimbangkan fakta bahwa Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor Kep-112/D.05/2013 tanggal 18 Oktober 2013 Tentang Pencabutan Ijin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT. AJBAJ tetap berlaku sepanjang belum ada Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;

c) Judex Facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dengan tidak membuktikan mengenai terpenuhinya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU;

d) Judex Facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dalam menerapkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU;

e) Judex Facti telah tidak konsisten dalam mempertimbangkan Putusan mengenai Eksepsi dikaitkan dengan Putusan mengenai Pokok Perkara;

f) Judex Facti salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku karena menganggap pembuktian mengenai klaim asuransi dalam perkara ini menjadi tidak sederhana;

g) Judex Facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku karena menilai bahwa Termohon Kasasi masih memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya;

h) Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan mengenai adanya kepentingan nasional terhadap perkembangan industri asuransi yang menjadi kewenangan dari Pemohon Kasasi dalam rangka menciptakan industri asuransi nasional yang sehat dan dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.

19) Bahwa Majelis Hakim MARI dalam tingkat Kasasi perkara No. 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 28 Agustus 2015, mengabulkan permohonan Kasasi dari Dewan Komisioner OJK (“Pemohon Kasasi”) dan memberikan Putusan yang dikutip sebagai berikut:

“M E N G A D I L I

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN tersebut;

Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor 04/PDT-SUS-Pailit/2015/PN.NIAGA.Jkt.Pst Jo. Nomor 27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 16 April 2015;

MENGADILI SENDIRI

1. Mengabulkan permohonan pernyataan pailit dari Pemohon Pailit;

2. Menyatakan Debitor PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya pailit;

3. Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat untuk menunjuk seorang Hakim Pengawas yang ada di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut untuk perkara a quo;

4. Mengangkat: Sdr. Raymon Bonggard Pardede, S.H., terdaftar Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU AH 04.03-68, beralamat di Gedung Wirapurusa (LVRI) Lantai III, Jalan Raden Intan II, Nomor 2, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, sebagai Kurator untuk perkara a quo;

5. Menetapkan imbalan jasa bagi Kurator akan ditentukan kemudian setelah Kepailitan berakhir;

Menghukum Termohon Kasasi/Debitor untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).”

20) Adapun pertimbangan Majelis Hakim MARI yaitu dikutip sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 23 April 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 5 Mei 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa Judex Facti mendasarkan putusan pada pertimbangan yang tidak sesuai dan menyimpang dan substansi pokok perkara yang menjadi dasar permasalahan, disamping Judex Facti telah salah mengaitkan permohonan pernyataan pailit dengan sengketa Tata Usaha Negara, padahal sangat jelas objek sengketa antara perkara kepailitan dengan Tata Usaha Negara berbeda, dan tidak ada kaitan sama sekali;

Bahwa hal tersebut terlihat dari substansi sengketa Tata Usaha Negara dimana yang menjadi objek adalah Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Nomor KEP-12/D.05/2013, tanggal 18 Oktober 2013 tentang pencabutan ijin usaha PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya;

Bahwa sedangkan yang menjadi permasalahan pokok dalam perkara a quo adalah Termohon Kasasi memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas setidak-tidaknya satu utang yang telah jatuh tempo, sebagaimana disyaratkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal mana juga terlihat dari tidak terpenuhinya tingkat solvabilitas dari resiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat timbulnya deviasi dalam pengelolaan kekayaan sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 04/PDT-SUS-Pailit/2015/PN.NIAGA.Jkt.Pst Jo. Nomor 27/Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.NIAGA.Jkt.Pst. tanggal 16 April 2015, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan dan Termohon Kasasi / Debitor dinyatakan pailit, sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas;

Bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas yang terdapat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, oleh karena itu Mahkamah Agung memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat untuk menunjuk seorang Hakim Pengawas dalam perkara ini;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator yang diangkat haruslah yang independen, tidak mempunyai benturan kepentingan antara Debitor dan para Kreditor, serta tidak menangani perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang lebih dari 3 (tiga) perkara;

Bahwa setelah memeriksa surat-surat usulan pengangkatan Kurator, Mahkamah Agung berpendapat bahwa usul pengangkatan Kurator yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Pemohon Pailit yaitu Sdr. Raymond Bonggard Pardede, S.H., terdaftar Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU AH 04.03-68, beralamat di Gedung Wirapurusa (LVRI) Lantai III, Jalan Raden Intan II, Nomor 2, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, sebagai Kurator telah memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam undang-undang, oleh karena itu beralasan untuk dikabulkan;

Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 75 dan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan bahwa besarnya imbalan jasa Kurator ditentukan setelah kepailitan berakhir dan besarnya imbalan jasa yang dibayarkan kepada Kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan perundang-undangan;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan, maka Termohon Kasasi harus dihukum untuk membayar semua biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;”

Perkara Pailit pada Tingkat Peninjauan Kembali (PT. AJBAJ Mengajukan Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali):

21) Bahwa menanggapi Putusan Kasasi MARI No. 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 28 Agustus 2015, PT. AJBAJ mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (“PK”) pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Juni 2016 dengan register perkara No. 101 PK/Pdt.Sus-Pailit/2016 sebagai Pemohon PK dahulu Termohon Kasasi/Termohon Pailit terhadap Dewan Komisioner OJK sebagai Termohon PK dahulu Pemohon Kasasi/Pemohon Pailit.

22) Permohonan PK oleh Pemohon PK dengan dalil bahwa “Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata” dan alasan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 295 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.

23) Bahwa Majelis Hakim MARI dalam Peninjauan Kembali dengan perkara No. 101 PK/Pdt.Sus-Pailit/2016 tanggal 28 September 2015, telah memberikan Putusan yang dikutip sebagai berikut:

M E N G A D I L I:

1. Menyatakan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT ASURANSI JIWA BUMI ASIH JAYA tersebut tidak dapat diterima;

2. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali/Termohon Pailit untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini yang ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”

24) Adapun pertimbangan Majelis Hakim MARI yaitu pada pokoknya, dalil Pemohon PK sebagaimana di dalam Pasal 295 ayat (2) huruf b UU Kepailitan dan PKPU, maka jika dihubungkan dengan Pasal 296 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU, maka tenggang waktu pengajuan PK adalah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan PK itu memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Permohonan PK aquo telah lewat waktu karena diajukan pada hari ke-36 (tiga puluh enam), dengan demikian permohonan pemeriksaan PK diajukan telah melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 295, 296, 297 UU Kepailitan dan PKPU, oleh karena itu Permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima; menimbang bahwa oleh karena permohonan pemeriksaan PK dinyatakan tidak dapat diterima, maka Pemohon PK/Termohon Pailit dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan PK.

Analisis Penulis terhadap perkara di atas:

I. Perkara Sederhana, Karena Polis Yang Jatuh Tempo Dan Tidak Dapat Dibayar Oleh Penerbit Polis, Merupakan Utang Dan PT . AJBAJ Mengakui Mempunyai Utang Yang Telah Jatuh Tempo Dan Terhadap Dewan Komisioner OJK Dan Kreditur Lainnya Dalam Permohonan PKPU Yang Diajukan .

1. Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Niaga pada tingkat Pertama (Judex Factie) yang memberikan parameter suatu perkara utang secara sederhana menjadi tidak sederhana, dengan mempertimbangkan keberatan atau dalil dari PT. AJBAJ selaku penerbit polis sedang mengajukan gugatan pembatalan pencabutan izin usaha oleh OJK di Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga perkara permohonan pailit yang diajukan Dewan Komisioner OJK menjadi tidak sederhana. Adalah tepat pertimbangan hukum Judex Juris karena masalah gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan hal yang berbeda dengan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga.

2. Pertimbangan Judex Factie sangat keliru karena alasan-alasan sebagai berikut:

a) Bahwa berdasarkan Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2012 dalam halaman 9, Para Hakim Agung sub kamar Perdata Khusus, pada tanggal 20 April 2012, telah menyepakati kriteria atau parameter dari terbukti sederhana adalah berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 yaitu pada waktu pembuktian adanya hutang, yang selengkapnya dikutip sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.”

b) Pengertian bahwa pengertian utang, bukan semata pengertian utang yang timbul berdasarkan perjanjian hutang-piutang. Pengertian Utang dalam arti luas adalah “kewajiban untuk melakukan prestasi” sebagaimana disebut oleh Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., yang mengkutip pendapat Fred B.G. Tumbuan, pada bukunya yang berjudul “Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan” cetakan kedua, Jakarta: Kencana, 2008, hal: 35, sebagai berikut:

“Demikian pula dengan konsep utang dalam hukum kepailitan Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordasi dalam peraturan kepailitan, bahwa utang adalah suatu bentuk kewajiban untuk memenuhi prestasi dalam suatu perikatan. Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa dalam hal seseorang karena perbuatannya atau tidak melakukan sesuatu mengakibatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar ganti rugi, memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu, maka pada saat itu juga ia mempunyai utang, mempunyai kewajiban melakukan prestasi. Jadi, utang sama dengan prestasi.”

c) Mengenai, kapan suatu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., pada bukunya yang berjudul “Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan” cetakan III edisi baru, Jakarta: Pustama Utama Grafiti, 2009, hal: 57, menyebutkan sebagai berikut:

“… Utang yang telah jatuh waktu, ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak untuk menagihnya.”

d) PT. AJBAJ terbukti telah mengakui adanya utang yang telah jatuh tempo kepada Dewan Komisioner OJK dan beberapa krediturnya dengan mengajukan permohonan PKPU sebagaimana telah diuraikan dalam butir 8 diatas. Meskipun permohonan PKPU yang diajukan PT. AJBAJ dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memiliki legal standing, namun berdasarkan bukti -bukti yang diajukan PT. AJBAJ dan Dewan Komisioner OJK, perkara aquo terbukti merupakan perkara sederhana.

II. Kewenangan Menteri Keuangan Mengajukan Permohonan Pailit Dan PKPU Terhadap Perusahaan Asuransi Diwakili Oleh OJK Yang Dalam Bertindak Diwakili Oleh Dewan Komisioner.

3. Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, permohonan pernyataan Pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Pada kenyataannya, kewenangan Menteri Keuangan diwakili Otoritas Jasa Keuangan, sebagaimana disebut dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”) yang menyatakan:

“Sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.”

4. Selanjutnya pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, yang dikutip sebagai berikut:

“Pasal 50

(1) Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan asuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.”

5. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pihak yang berwenang mengajukan Permohonan Pailit ataupun Permohonan PKPU terhadap Perusahaan Asuransi adalah Otoritas Jasa Keuangan yang diwakili oleh Dewan Komisioner berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU OJK Jo. Pasal 25 ayat (1) UU OJK, yang dikutip sebagai berikut:

“Pasal 10

(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.

(2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial.

Pasal 25

Dewan Komisioner mewakili OJK di dalam dan di luar pengadilan.”

III. Apabila Diajukan Eksepsi Kompetensi Absolut, Berdasarkan Hukum Acara Perdata, Hakim Perkara Kepailitan Harus Membuat Putusan Sela Sebelum Putusan Pokok Perkara.

6. PT. AJBAJ mengajukan Eksepsi Kompetensi Absolut dengan alasan ” bahwa terhadap perselisihan antara PT. AJBAJ dengan Pemegang Polis secara absolut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili, hal mana yang berwenang untuk melakukan penyelesaian sengketa antara Perusahaan Asuransi dan Pemegang Polis adalah Lembaga Mediasi in casu Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) “.

7. Berdasarkan Pasal 303 UU Kepailitan dan PKPU, disebutkan:

“Pasal 303

Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.”

8. Demikian juga pendapat ahli hukum, Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H., C.N., pada bukunya yang berjudul “Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan” cetakan kedua, Jakarta: Kencana, 2008, hal: 343, yang pada pokoknya berpendapat bahwa Pengadilan Niaga secara absolut berwenang untuk mengadili perkara meskipun ada klausula arbitrase sebagaimana dikutip sebagai berikut:

“Di samping itu, terdapat beberapa argumentasi yuridis mengenai kewenangan absolut yang ekslusif dalam persoalan kepailitan, yakni:

1. bahwa Undang-Undang Kepailitan merupakan lex special dari Undang-Undang Arbitrase. Dalam Undang-Undang Kepailitan secara tegas dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga merupakan satu-satunya yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan dan PKPU. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang memaksa (aanvullendsrecht) dan tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan mencantumkan klausula arbitrase. Seandainya Pengadilan Niaga tidak berwenang memeriksa dan memutus permohonan kepailitan, lalu apakah arbitrase kemudian berwenang menyatakan suatu subjek hukum dalam keadaan pailit. Hal ini sangatlah tidak mungkin, mengingat hukum acara dalam Pengadilan Niaga banyak yang diatur secara khusus untuk proses dan prosedur kepailitan;

2. bahwa undang-undang juga tidak memberikan pilihan hukum dalam permohonan kepailitan selain dari kepada kewenangan Pengadilan Niaga sebagai peradilan yang khusus, dan tentang kewenangan mengadili kepailitan tersebut, Pengadilan Niaga tidak tunduk pada pilihan hukum dan kewenangan yang diatur dalam perjanjian. Analog dari penjelasan ini, jika suatu perjanjian terdapat klausula yang menyatakan dengan tegas bahwa segala akibat hukum yang timbul dari perjanjian tidak dibenarkan diselesaikan melalui Pengadilan Niaga, maka tidak serta-merta Pengadilan Niaga tidak berhak memeriksa permohonan kepailitan.”

9. Bahwa Judex Facti telah tepat menjatuhkan Putusan Sela yang pada pokoknya Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara. Namun, Judex Facti tidak cukup memberikan alasan mengapa harus menjatuhkan Putusan Sela.

10. Pasal 299 UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan:

“Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata.”

11. Pasal 136 HIR yang dikutip sebagai berikut:

“Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.

Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 136 HIR, Judex Factie harus menjatuhkan Putusan Sela terlebih dahulu untuk menyatakan dirinya berwenang mengadili perkara sebelum menjatuhkan Putusan Akhir.

IV. Kelalaian Menghitung Tenggang Waktu Dalam Mengajukan Peninjauan Kembali, Menyebabkan Peninjauan Kembali Tidak Dapat Diterima.

12. Kuasa Hukum PT. AJBAJ mengajukan permohonan PK berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 16 Juni 2016, yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 21 Juni 2016 terhadap Putusan Kasasi No. 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 28 Agustus 2015, yang telah diberitahukan kepada Para Pihak (Dewan Komisioner OJK dan PT. AJBAJ) pada tanggal 16 Mei 2016 dan berkekuatan hukum tetap, sehingga tenggang waktu pengajuan PK terhitung setelah tanggal 16 Mei 2016 sampai dengan tanggal 21 Juni 2016 adalah sudah melewati 30 (tiga puluh) hari, yaitu 36 (tiga puluh enam) hari.

13. Permohonan PK dapat diajukan dengan 2 alasan. Alasan pertama yaitu “Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata” sebagaimana disebut dalam Pasal 295 ayat (2) huruf b UU Kepailitan dan PKPU, dan alasan kedua yaitu “Apabila ditemukan bukti baru (novum) yang waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan” sebagaimana disebut dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a UU Kepailitan dan PKPU.

14. Ternyata, alasan yang diajukan oleh PT. AJBAJ adalah karena ” terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata “, maka jika dihubungkan dengan Pasal 296 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU, tenggang waktu pengajuan PK adalah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan PK itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan PK a quo yang diajukan pada tanggal 21 Juni 2016, telah lewat waktu karena diajukan pada hari ke-36 (tiga puluh enam) yang dihitung sejak Pemberitahuan Isi Putusan Kasasi diterima para Pihak tanggal 16 Mei 2016, dengan demikian permohonan pemeriksaan PK diajukan telah melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 295, 296, 297 UU Kepailitan dan PKPU, oleh karena itu Permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima.

15. Sedangkan apabila permohonan PK diajukan dengan alasan sejak ditemukannya bukti baru (novum) yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari, maka tidak melewati jangka waktu dan permohonan PK dapat diterima, sebagaimana dalam Pasal 296 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang dikutip sebagai berikut:

“Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.”

16. Hal ini membuktikan saat PT. AJBAJ memberikan kuasa dan menandatangani Surat Kuasa tertanggal 16 Juni 2016 kepada kuasa hukumnya, maka permohonan PK hanya dapat diajukan atas dasar adanya bukti baru (novum) dan tidak dapat atas dasar dengan alasan “terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata” karena syarat tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sudah terlewati.